Konsep Manusia
Siapakah
manusia? Manusia pertama tidak
terlepas dari asal usul kehidupan di alam semesta. Asal-usul manusia menurut
ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari teori tentang species baru yang
berasal dari spesies lain yang sebelumnya melalui proses evolusi.
Mencari
makna manusia melalui ilmu pengetahuan. Membicarakan tentang manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat
tergantung pada metologi yang digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari.
Konsep manusia dalam al-qur’an
dipahami dengan memperhatikan kata-kata yang saling menunjuk pada makna manusia
yaitu kata basyar, insan, dan al-nas.
Manusia
sebagai basyar tunduk pada takdir
Allah, sama dengan makhluk lain. Manusia sebagai insan dan al-nas bertalian dengan
hembusan roh Allah memiliki kebabasan dalam tunduk atau menentang takdir Allah.
Namun, pada umumnya manusia nampak lebih sering
melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Jika demikian maka
manusia semacam ini jauh dibawah standar malaikat yang selalu beribadah dan
menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam Al-Qur’an, Malaikatpun
sujud pada manusia. Kemudian, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah yang menyebutkan bahwa manusia
adalah sebaik-baiknya makhluk Allah?
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang
memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah
menjanjikan kedudukan yang tinggi. Allah berfirman dalam Al-Quran surah
Al-A’raaf ayat 176 yang berbunyi
Artinya :
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.
Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia
untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya,
manusia menggabaikan itu.
Jika manusia ingin mewujudkan potensi-potensi baik
dalam dirinya, ia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu
untuk menjalani itu. Sesuai dengan firman-Nya dalam Al-Quran surah
al-Baqarah ayat 286 yang berbunyi
Artinya :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo'a): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan
kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah
kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir."
Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang
tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu
tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri.
Penutup Manusia adalah manusia dengan segala
potensinya. Ia dapat memilih mendayagunakan potensialitasnya atau
mengabaikannya.
2.2 Eksistensi dan Martabat Manusia
Ibnu
Sina yang terkenal dengan filsafat jiwanya menjelaskan bahwa manusia adalah
makhluk sosial dan sekaligus makhluk ekonomi. Menurut pandangan Murtadha
Mutahhari manusia adalah makhluk serba dimensi. Dimensi pertama, secara fisik
manusia hampir sama dengan hewan butuh makan, minum, istirahat dan menikah.
Dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis. Dimensi yang
ketiga, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi keempat,
manusia memiliki ndorongan untuk menyembah Tuhan. Dimensi kelima, manusia
memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda. Dimensi keenam, manusia
mampu mengenal dirinya.
Pada
dimensi kedua dikatakan manusia hampir sama dengan binatang, namun ada yang
membedakan antara manusia dengan binatang dan makhluk lain yaitu kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang
bagaimanapun, baik didarat, dilaut maupun diudara. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-Isra’
ayat 70 yang berbunyi
Artinya :
Dan sesungguhnya telah
Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami
beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Disamping
itu manusia diberi akal dan hati sehingga dapat memahami ilmu yang diturunkan
Allah, berupa Al-Quran. Dengan ilmu manusia mampu berbudaya, dengan budaya
manusia hidup bermartabat. Manusia akan
tetap bermartabat mulia kalau mereka bertindak sebagai khalifah yang hidup dengan ajaran Allah.
2.3 Tanggung Jawab
Manusia Sebagai Hamba Allah
Dalam
kehidupan di dunia sebagai pertanggung jawaban dirinya sebagai hamba Allah
dengan ketaatan ketundukan dan kepatuhan yang dicerminkan dalam kebenaran dan
keadilan. Manusia menempati posisi sebagai nciptaan dan Tuhan sebagai pencipta.
Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia menghambakan diri
kepada Allah dan dilarang menghambakan pada dirinya, serta menghamba pada hawa
nafsunya.
Manusia
sebagai hamba Allah memiliki tanggung jawab. Yaitu tanggung jawab terhadap diri
sendiri, keluarga, dan kepada sesama.
Tanggung
jawab kepada keluarga adalah lanjutan dari tanggung jawab terhadap diri
sendiri, karena memelihara diri sendiri berkaitan dengan perintah memelihara
iman keluarga, hal ini disebutkan
dalam Al-Quran surah At-Tahriim ayat 6 yang
berbunyi
k
Artinya :
Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Oleh
karena itu tanggung jawab hamba Allah adalah menegakkan keadilan, baik terhadap
diri sendiri maupun keluarga.
Tanggung
jawab kepada sesama merupakan realisasi dari manusia sebagai hamba-hamba Allah
yang merupakan bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga
diperintahkan untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemunkaran yang dijelaskan dalam Al-Quran surah Ali
Imran ayat 104 yang berbunyi
Artinya :
Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ;
merekalah orang-orang yang beruntung.
Eksistensi
manusia di dunia adalah sebagai tanda kekuasaan Allah SWT terhadap
hamba-hambaNya, bahwa Dialah yang menciptakan, menghidupkan dan menjaga
kehidupan manusia. Dengan dimikian, tujuan diciptakannya manusi dalam konteks
hubungan manusia dengan Allah SWT adalah dengan mengimani Allah SWT dan
memikirkan ciptaanNya untuk menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Sedangkan dalam konteks hubungan manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam
adalah untuk berbuat amal, yaitu perbuatan baik dan tidak melakukan kejahatan
terhadap sesame manusia, serta tidak merusak alam.
Demikianlah tanggung
jawab hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah
menurut sunnah Rasul.
2.4 Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah Allah
Manusia diserahi tugas
hidup yang merupakan amanat Allah dan harus dipertanggung jawabkan
dihadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia dimuka bumi adalah tugas
kekhalifahan,yaitu tugas kepemimpinan, wakil Allah dimuka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan
alam.
Dalam kamus Bahasa
Indonesia, khalifah berarti pimpinan umat. Menjadi pemimpin adalah fitrah
setiap manusia. Namun karena satu dan hal lain, fitrah ini tersembunyi,
tercemar bahkan mungkin telah lama hilang. Kepemimpinan adalah suatu amanah
yang diberikan Allah yang suatu ketika nanti harus kita pertanggungjawabkan
Manusia sebagai khalifah memegang mandat untuk
mewujudkan kemakmuran dimuka bumi. Kekuasaannya bersifat kreatif. Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang
berupa kebebasan memilih dan menentukan, sehingga kebebasan
tersebut melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan manusia sebagai
khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimiliki
tidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang.
Kekuasaan manusia
sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yaitu
hukum-hukujm Tuhan baik yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an maupun yang
tersirat dalam kandungan alam semesta. Wakil yang menggingkari serta
menghianati kepercayaan yang diwakili akan dipertanggungjawabkan sebagaimana
firman Allah dalam Al-Quran surah
Faathir ayat 39 yang berbunyi
Artinya :
Dia-lah yang menjadikan
kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat)
kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu
tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka
belaka.
Dua peran yang dipegang
manusia di muka bumi yaitu sebagai
khalifah dan ‘abd, merupakan
perpaduan tugas dan tanggungjawab yang melahirkan dinamik hidup sebaik-baiknya.
Dengan demikian,
manusia sebagai khalifah dan hamba Allah merupakan kesatuan yang menyempurnakan
nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang memiliki kebebasan berkreasi dan
sekaligus menghadapkannya pada tuntutan kodrat yang menempatkan posisinya
kepada keterbatasan.