Sumber-sumber
Hukum Islam
A. Al Qur’an
1. Definisi Al
Qur’an Dan Akar kata al Qur’an
Allah Swt.
memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa
yang biasa
digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu
mengandung makna
yang berbias dan memiliki akar kata 1. Diantara beberapa nama
itu yang paling
terkenal ialah al Kitab dan al Qur’an.
Wahyu dinamakan
al Kitab yang menunjukkan pengertian bahwa wahyu itu
dirangkum dalam
bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan
menggambarkan
ucapan (lafadz) adapun penamaan wahyu itu dengan al Qur’an
memberikan
pengertian bahwa wahyu itu tersimpan didalam dada manusia mengingat
nama al Qur’an
sendiri berasal dari kata qira’ah (bacaan) dan didalam qira’ah
terkandung makna
: agar selalu diingat,. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab
yang jelas itu
telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat, serta
untuk mencegah
kemungkinan terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak
menyalah artikan
atau usaha mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitabkitab
suci lain dimana
wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya
dalam hafalan
saja, tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang
mutawatir
(sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang
mutawatir itu
mencatatnya dengan jujur dan cermat.2
Secara
etimologis,
Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau
qur’aanan yang
berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu)
huruf-huruf
serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur 3.
Dikatakan
Al Qur’an karena
ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu
pengetahuan.
Allah berfirman :
“ Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan
(membuatmu
pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya
maka ikutilah
bacaannya”. (al
Qiyamah [75]:17-18).
Qur’anan dalam
hal ini berarti juga qira’atahu (bacaannya/cara membacanya). Jadi
kata itu adalah
masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) “fu’lan” dengan vocal “u”
seperti “gufran”
dan “syukran”. Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an,
qira’atan wa
qur’anan,
artinya sama saja yakni maqru’ (apa yang dibaca) atau nama
Qur’an (bacaan).4
Qur’an dikhususkan
sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad
s.a.w., sehingga
Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara
gabungan kata
itu dipakai untuk nama qur’an secara keseluruhan, begitu juga untuk
1 Subhi as shalih,
Dr. “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, Darul- Ilm Lil-Malayin, Beirut, Libanon
2 Ibid,
Subhi as shalih, “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, hal.9
3 Muhaimin,
Drs, MA, “Dimensi-dimensi Studi Islam”, Karya Abditama, Surabaya, 1994:86.
4 Manna’
Khalil al Qattan, “Mabahis fi Ulumil Qur’an”
penamaan
ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an, kita
boleh mengatakan
bahwa ia sedang membaca Qur’an.
“dan apabila
dibacakan Qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah …(Al-A’raf
[7]:204).
Sebagian Ulama berpendapat
bahwa kata Qur’an itu pada mulanya tidak berhamzah
sebagai sebuah
kata jadian. Ada analisa penyebutan tersebut kemungkinan adalah
karena Qur’an
dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi
s.a.w., dan
bukan merupakan kata jadian, sementara yang lain berpendapat berbeda.
Untuk itulah ada
baiknya jika kita mereferensi beberapa pendapat ulama tentang asal
kata Qur’an :
a. Asy-Syafi’i,
berpendapat bahwa kata qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah (
Quran) yang
tidak diambil dari kata lain (Musytaq). Ia adalah nama Khusus yang
dipakai untuk
kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana
kitab Injil dan
Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan
kepada Nabi Isa
dan Musa 5. Lafadz
tersebut sudah lazim digunakan dalam
pengertian
kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.. jadi
menurut asy
Syafi’i, lafadz tersebut bukan berasal dari akar kata qa-ra-a
(membaca), sebab
kalau akar katanya qa-ra-a, maka tentu setiap sesuatu yang
dibaca dapat dinamai
al Qur’an, sama halnya dengan nama Taurat dan Inzil.6
b. Al-Farra’
dalam kitabnya “Ma’anil Qur’an” berpendapat bahwa lafadz qur’an
tidak memakai
hamzah, dan diambil (musytaq) dari kata qara’in jamak dari
qarinah, yang
berarti indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan karena sebagian
ayat-ayat al
Qur’an itu serupa satu sama yang lain, maka seolah-olah sebagian
ayat-ayatnya
merupakan indikator dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang
serupa.7 Dan
huruf “nun” pada akhir lafadz al Qur’an adalah huruf asli, bukan
huruf tambahan.8
c. Al Asy’ari
berpendapat bahwa lafadz al Qur’an tidak memakai hamzah dan
diambil dari
kata qarana, yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena
surat-surat dan
ayat-ayat al Qur’an dihmpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
Tiga pendapat
diatas menurut Subhi as Shalih adalah beberapa contoh dari Ulama
yang berpendapat
bahwa lafadz al Qur’an tanpa huruf hamzah ditengahnya jauh dari
kaidah pemecahan
kata (isytiqaq) dalam bahasa Arab. Sedangkan para ulama’ yang
berpendapat bahwa
lafadz al Qur’an ditulis dengan tambahan hamzah ditengahnya
adalah :
a. Az Zajjaj,
lafadz al Qur’an ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya berdasarkan
pola kata (wazn)
fu’lan, lafadz tersebut pecahan (musytaq) darai akar kata qar’un
yang berarti jam’un,
Seperti kalimat quri’al ma’u fil-haudi, yang berarti : air
dikumpulkan
dalam kolam. Jadi dalam kalimat itu kata qar’un bermakna jam’un,
yang dalam
bahasa Indonesia bermakna kumpul, atau menhimpun. Hal ini karena
al Qur’an
merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab
suci sebelumnya.
5 Ibid,
“Dimensi-dimensi Studi Islam” hal.86
6 Subhi as
shalih, Dr. “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, hal.10
7 Muhaimin,
Drs, MA “Dimensi-dimensi Studi Islam” hal.86
8 Subhi as
shalih, Dr. “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, hal.11
b. Al Lihyani,
lafadz al Qur’an ditulis dengan huruf ditengahnya berdasarkan pola
kata ghufran dan
merupakan pecahandari akar kata qa-ra-a yang bermakna tala
(membaca).
Secara
terminologi al
Qur’an menurut beberapa ulama adalah:
a. Ulama Ushul
fiqh,
Artinya:
“Kalam Allah9 yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam bahasa
Arab yang
dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya
merupakan
ibadah, tertulis dalam mushaf , dimulai dari surat al fatihah dan ditutup
dengan surat an
Nas.10
b. Abdul Wahab
Khalaf mendefinisikan al Qur’an sebagai firman Allah yang
diturunkan
melalui ruhul amin (jibril) kepada Nabi Muhammad saw. Dengan
bahasa Arab,
isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujjah kerasulannya,
undang-undang
bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta
dipandang ibadah
dalam membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang
dimulai dari
surat al fatihah dan diakhiri dengan surat an Nas yang diriwayatkan
kepada kita
dengan jalan mutawatir
c. Syaikh Muhammad
Abduh mendefinisikan al Quran sebagai kalam mulia yang
diturunkan oleh
allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad) ajarannya
mencakup
keseluruha ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulai yang
essensinya tidak
dimengerti kecuali bagi orang yang berfjiwa suci dan berakal
cerdas.
Ketiga definisi
tersebut sebenarnya saling melengkapi. Definisi pertama lebih focus
pada subyek
pembuat wahyu, Allah dan obyek penerima wahyu yakni rasulullah
Muhammad saw,
proses penyampaiannya kepada umat secara mutawatir,
membacanya
dikategorikan sebagai ibadah. Definisi kedua melengkapi penjelasan
cara turunnya
melalui malaikat Jibril, penegasan tentang awal dan akhir surat. Dan
definisi ketiga
berkaitan dengan isi dan kriteria bagi orang ingin memahaminya.
Dari definisi
tersebut dapat dinalisa bahwa al Qur’an memiliki unsur-unsur Yang
menjadi ciri
khas bagi al Qur’an, yakni :
a. Al Qur’an
merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw.
Tidak dinamakan
al Qur’an seperti Zabur, Taurat dan Injil. Ketiga kitab tersebut
memang termasuk
kalam Allah tapi tidak diturunkan kepada nabi Muhammad
sehingga tidak
disebut al qur’an.
Kehujjahan al
Qur’an
9 Menurut
Manna Khalil al-Qattan, dalam definisi “kalam” merupakan semua jenis yang
meliputi segala
kalam. Dan dengan
menghubungkan kepada Allah (kalamullah) berarti tidak termasuk semua kalam
manusia, jin dsan
malaikat. (Manna Khalil al-Qattan Mabahist fi ulum alQur’an diterjemahkan oleh
Drs,
Muzdakkir As
dalam “Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an” Litera Antar Nusa, Jakarta, 1987.
10 Syafe’I,
Rachmat , Prof,Dr,MA,”Ilmu Ushul FIqf”,CV.Pustaka Setia, Bandung,1999.hal.50
IJTIHAD
SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
I.PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama bagi kaum muslim. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT, yang berisi aturan-aturan atau hukum-hukum yang bersifat global, karena agama islam merupakan agama yang universal. Lebih lanjut penjelasan Al-Qur’an di jabarkan oleh As-Sunnah. Namun seiring berkembang dan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat manusia, sering sekali penyelesaian suatu permasalahan tidak ditemukan penyelesaiiannya di dalam Al-Qur’an. Untuk itu perlu dilakukan ijtihad untuk menentukan hukum islam yang benar, yang tidak bertentangan dengan akidah dan syariat yang tetap berpatokan pada sumber utama yaitu Al-Qur’an.
II.PEMBAHASAN
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Ijtihad dijadikan sebagai sumber hukum islam yang ketiga sesudah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut bahasa, ijtihad berasal dari bahasa Arab Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dengan demikian kata Ijtihad berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”. Sedangkan menurut istilah jtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam). Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2.Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Lalu, masalah seperti apa yang dilakukan secara ijtihad? Masalah apapun, selama tidak ada dalilnya secara pasti baik didalam Al-Qur’an atau As-Sunnah. Masalah yang sudah jelas hukumnya seperti shalat, zakat, haji, dan puasa tidak boleh di ijtihadkan lagi. Tetapi bagaimana dengan masalah bayi tabung, keluarga berencana, Shalat di kapal laut atau pesawat? Itulah diantaranya yang harus diijtihadkan. Kemudian apakah dibolehkan kita berijtihad pada masa sekaran? Tentu saja boleh, bahkan di anjurkan. Nabi Muhammad sendiri berkata:
Artinya: ”Apabila seorang hakim di dalam menghukum berijtihad, lalu ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila salah ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala”
Jenis-jenis ijtihad antara lain yaitu:
Ijma'
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Qiyâs
Maksud dari Qiyas adalah Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Istihsân
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.Merupakan tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan atau tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
Mushalat murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
Contoh penyelesaian masalah melalui ijtihad saat ini adalah tentang bayi tabung. Nah, pertanyaannya adalah pengadaan bayi tabung itu dihalalkan menurut agama islam atau tidak? Jika kita cari hukum yang mengatur tentang pengadaan bayi tabung pada sumber hukum utama, maka kita tidak akan menemukannya. Nah, Oleh karena itu kita harus menyelesaikannya melalui ijtihad. Arti dari bayi tabung ini adalah pembuahan sel telur oleh sperma di luar rahim, Selanjutnya tetap akan berkembang di janin ibu melalui berbagi teknologi yang canggih. Secara hukum islam pengadan bayi tabung ini dapat dihalalkan selama benih yang dibuahi berasal dari orang yang terikat hubungan suami-istri secara syah menurut agama Islam. Dan sebaliknya dapat diharamkan, Jika benih berasal dari orang yang tidak memilki keterikatan hubungan suami istri secara syah menurut agama Islam.
Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Yang mana telah kita ketahui bersama didalam keduanya terdapat hukum-hukum yang relevan dalam kehidupan kita bermasyarakat, beragama dan menjalani kehidupan kita sebagai khalifah di muka bumi ini. Sejarah yang terkandung dalam keduanya memberi kita contoh dalam bermasyarakat untuk meneladaninya, dalam segi beragama kita dituntut untuk bisa mengungkap isinya agar ibadah kita didunia ini tidak sia-sia dan hanya berupa formalitas semata. Sedangkan dalam mengerjakan tugas hidup kita sebagi khalifah, al-quran dan sunnah punya ilmu yang sangat melimpah dari ilustrasi dasar lampu, dan banyak lagi.
Semua muslimin sepakat bahwa sumber hukum pertama yang tertinggi adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran. Sumber hukum peringkat selanjutnya adalah kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat dari kehidupan Rasul Allah; disebut as-Sunnah.
Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain Al-Quran adalah semua yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran, sehingga tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dengan landasan ini, muslimin sependapat bahwa barang siapa yang menentang dan mengubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai kufur.
Tanpa disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji untuk mengikuti Al- Quran dan Hadits/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan semua yang ada dari keduanya dalam kehidupan keseharian. Tapi, ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber yang sama, ternyata, muslimin memahami dengan berbeda. Dari sumber yang sama (Al-Quran dan Hadits), difahami secara berbeda, sehingga beramal pun dengan praktik yang berbeda. Karena, memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan yang sama tetapi muatannya berbeda.
Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat. Al-Quran, dalam artian wahyu atau kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti. Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum telah terhenti, sehingga mereka berpandangan hanya Al-Quran dan Sunnah Nabi saja sebagai sumber hukum yang mutlak.
Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Wafat Nabi Muhammad SAW tidak berarti terhentinya nash Ilahi dalam bentuk Sunnah. Karena, Sunnah dalam pemahaman kelompok ini tidak terbatas pada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga ada pada tiga belas orang maksum setelah beliau. Yaitu, dimulai dari Ali bin Abi Thalib AS sampai dengan Muhammad bin Hasan al-Mahdi AS (termasuk Fatimah az-Zahra AS), hingga akhir zaman. Kedua pandangan inilah yang menjadi pemilah kesatuan muslimin yang telah dibina Rasulullah SAW. Hinggalah sekarang, pengaruh dan bara tersebut masih saja menyala.
Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu adalah telah terbentuknya ideologi yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar perspektif pandangan masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi berbeda pula. Perbedaan inilah yang mendasari lemahnya kekuatan muslimin dalam menghadapi tantangan zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan fisik.
I.PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama bagi kaum muslim. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT, yang berisi aturan-aturan atau hukum-hukum yang bersifat global, karena agama islam merupakan agama yang universal. Lebih lanjut penjelasan Al-Qur’an di jabarkan oleh As-Sunnah. Namun seiring berkembang dan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat manusia, sering sekali penyelesaian suatu permasalahan tidak ditemukan penyelesaiiannya di dalam Al-Qur’an. Untuk itu perlu dilakukan ijtihad untuk menentukan hukum islam yang benar, yang tidak bertentangan dengan akidah dan syariat yang tetap berpatokan pada sumber utama yaitu Al-Qur’an.
II.PEMBAHASAN
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Ijtihad dijadikan sebagai sumber hukum islam yang ketiga sesudah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut bahasa, ijtihad berasal dari bahasa Arab Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dengan demikian kata Ijtihad berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”. Sedangkan menurut istilah jtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam). Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2.Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Lalu, masalah seperti apa yang dilakukan secara ijtihad? Masalah apapun, selama tidak ada dalilnya secara pasti baik didalam Al-Qur’an atau As-Sunnah. Masalah yang sudah jelas hukumnya seperti shalat, zakat, haji, dan puasa tidak boleh di ijtihadkan lagi. Tetapi bagaimana dengan masalah bayi tabung, keluarga berencana, Shalat di kapal laut atau pesawat? Itulah diantaranya yang harus diijtihadkan. Kemudian apakah dibolehkan kita berijtihad pada masa sekaran? Tentu saja boleh, bahkan di anjurkan. Nabi Muhammad sendiri berkata:
Artinya: ”Apabila seorang hakim di dalam menghukum berijtihad, lalu ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila salah ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala”
Jenis-jenis ijtihad antara lain yaitu:
Ijma'
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Qiyâs
Maksud dari Qiyas adalah Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Istihsân
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.Merupakan tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan atau tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
Mushalat murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
Contoh penyelesaian masalah melalui ijtihad saat ini adalah tentang bayi tabung. Nah, pertanyaannya adalah pengadaan bayi tabung itu dihalalkan menurut agama islam atau tidak? Jika kita cari hukum yang mengatur tentang pengadaan bayi tabung pada sumber hukum utama, maka kita tidak akan menemukannya. Nah, Oleh karena itu kita harus menyelesaikannya melalui ijtihad. Arti dari bayi tabung ini adalah pembuahan sel telur oleh sperma di luar rahim, Selanjutnya tetap akan berkembang di janin ibu melalui berbagi teknologi yang canggih. Secara hukum islam pengadan bayi tabung ini dapat dihalalkan selama benih yang dibuahi berasal dari orang yang terikat hubungan suami-istri secara syah menurut agama Islam. Dan sebaliknya dapat diharamkan, Jika benih berasal dari orang yang tidak memilki keterikatan hubungan suami istri secara syah menurut agama Islam.
Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Yang mana telah kita ketahui bersama didalam keduanya terdapat hukum-hukum yang relevan dalam kehidupan kita bermasyarakat, beragama dan menjalani kehidupan kita sebagai khalifah di muka bumi ini. Sejarah yang terkandung dalam keduanya memberi kita contoh dalam bermasyarakat untuk meneladaninya, dalam segi beragama kita dituntut untuk bisa mengungkap isinya agar ibadah kita didunia ini tidak sia-sia dan hanya berupa formalitas semata. Sedangkan dalam mengerjakan tugas hidup kita sebagi khalifah, al-quran dan sunnah punya ilmu yang sangat melimpah dari ilustrasi dasar lampu, dan banyak lagi.
Semua muslimin sepakat bahwa sumber hukum pertama yang tertinggi adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran. Sumber hukum peringkat selanjutnya adalah kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat dari kehidupan Rasul Allah; disebut as-Sunnah.
Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain Al-Quran adalah semua yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran, sehingga tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dengan landasan ini, muslimin sependapat bahwa barang siapa yang menentang dan mengubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai kufur.
Tanpa disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji untuk mengikuti Al- Quran dan Hadits/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan semua yang ada dari keduanya dalam kehidupan keseharian. Tapi, ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber yang sama, ternyata, muslimin memahami dengan berbeda. Dari sumber yang sama (Al-Quran dan Hadits), difahami secara berbeda, sehingga beramal pun dengan praktik yang berbeda. Karena, memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan yang sama tetapi muatannya berbeda.
Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat. Al-Quran, dalam artian wahyu atau kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti. Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum telah terhenti, sehingga mereka berpandangan hanya Al-Quran dan Sunnah Nabi saja sebagai sumber hukum yang mutlak.
Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Wafat Nabi Muhammad SAW tidak berarti terhentinya nash Ilahi dalam bentuk Sunnah. Karena, Sunnah dalam pemahaman kelompok ini tidak terbatas pada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga ada pada tiga belas orang maksum setelah beliau. Yaitu, dimulai dari Ali bin Abi Thalib AS sampai dengan Muhammad bin Hasan al-Mahdi AS (termasuk Fatimah az-Zahra AS), hingga akhir zaman. Kedua pandangan inilah yang menjadi pemilah kesatuan muslimin yang telah dibina Rasulullah SAW. Hinggalah sekarang, pengaruh dan bara tersebut masih saja menyala.
Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu adalah telah terbentuknya ideologi yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar perspektif pandangan masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi berbeda pula. Perbedaan inilah yang mendasari lemahnya kekuatan muslimin dalam menghadapi tantangan zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan fisik.
Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang melahirkan generasi muslim zaman ini. Generasi kini adalah hasil dari generasi terdahulu, karena unsur sejarah mendominasi pandangan muslim dalam menilai Islam. Dengan kenyataan yang terjadi, dan pandangan yang tercipta dari waktu ke waktu, serta informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini, telah membentuk opini keislaman seseorang.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara memandang pada fenomena sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman yang berbeda pula. Sehingga i'tiqad dasar keislaman pun akan berbeda. Sementara itu, semua muslim sepakat bahwa Islam adalah agama Ilahi yang satu dan merupakan hamparan jalan tunggal menuju kepada Allah. Karena itu, muslimin, mau tak mau, harus memilih juga, yang konsekuensinya adalah i'tiqad dasar dari pandangan di atas harus ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai yang benar, sehingga seseorang dapat memastikan keberadaan setiap personal di jalan yang lurus dan tunggal tersebut.
Namun seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit, timbul istilah ijtihad.
pengertian Ijtihad dan hukumnya
Menurut Ensiklopedi Islam, ijtihad adalah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelediki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu. Ijtihad (secara bahasa), berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih payah. Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mendefinisikan ijtihad